Happy Old Year

bertamasya
5 min readMay 6, 2021

SPOILER ALERT!

Sebenernya gue udah nonton film ini dari Bulan Januari 2021.

Gue jarang banget sih bahas soal film layar lebar tertulis kayak gini. Tapi film ini begitu ngena di hati gue, bahkan still relevant to this day, terutama beberapa kejadian gue alamin. Bercerita tentang seseorang bernama Jean yang lagi proses renovasi ruko ke rukan ala ala Swedia. Dia punya barang banyak banget bisa dilihat ya tumpukan sampahnya kayak apa kalo nonton trailernya.

Happy Old Year by Nawapol Thamrongrattanarit

Barangnya engga cuma punya Jean, tapi punya adik, Ibu, dan barang-barang Ayahnya yang saat ini udah pisah rumah karena cerai. Selain barang-barang keluarganya, ada juga barang temen-temennya, termasuk barang peninggalan mantan pacarnya. Jean ngerasa buat apa sih barang segini banyak ditumpuk? Mending dibuang gitu aja ga sih kasih ke tukang loak? Sama, gue pun sepemikiran dengan Jean.

Namun, selama proses pembersihan rumahnya, Jean sempet ke gep mau buang kado dari temen arsiteknya, ya temennya bete banget. Melihat reaksi temennya, Jean langsung kepikiran “waduh, daripada buang gini aja mending dibalikin aja kali ya ke yang punya?”. Merasa tertampar dengan keadaan itu, langsung deh Jean ngambil barang-barangnya dari tukang loak dan dibukain satu-satu plastiknya.

Happy Old Year by Nawapol Thamrongrattanarit

Sisa barang-barang yang menurut Jean masih ada yang punya di kasih post-it satu-satu. Perlahan, ia mengembalikan barang temen-temennya yang dulu sempat Jean simpan di rumah. Most of Jean’s friends reaction were very happy, grateful, karena Jean masih inget barang-barang itu. Tapi ada satu titik dimana Jean ngembaliin cello temennya, tapi temennya engga mau ambil karena buat apa sih? Udah rusak, ngabisin tempat. Jean engga terlalu sedih, soalnya dia ninggalin cello itu di rumah temennya. Sambil nungguin di mobil, akhirnya cello itu dibawa naik sama teman ini.

Tadi gue sempet mention kan kalau misalnya ada barang peninggalan si mantan yang masih sama Jean? Yes. Barang itu Jean kirim pake pos, padahal jaraknya dekat tapi Jean engga mau antar langsung ke sana. Mungkin jaga perasaan. Tapi ternyata, barangnya diretur ke Jean. Well, gue juga jadi Jean akan sedih, namun apadaya gue juga mau cepet-cepet move on. Akhirnya Jean nganter sendiri barang-barang itu ke rumah mantannya.

Happy Old Year by Nawapol Thamrongrattanarit

Jreeeeng, ketemulah si mantan beserta cewek barunya. Gue gak akan cerita panjang lebar sih tapi pada intinya dua-duanya ini sebenernya berusaha buat move on. Eh, Jean kekeuh balikin barangnya langsung jadi yaudah mereka bertemu dan saling mengembalikan barang. Ya di sanalah permasalahan terjadi. Nonton sendiri ya kalo penasaran ada apa :)

Forgetting and letting things go secara teori kayaknya gampang, padahal susah. Jean pengen “let go” dan berusaha move on dengan situasi di masa lalunya (yaitu bebenah rumah dan barang-barang engga penting, baginya), dengan cara ngembaliin barang-barang. Tapi ternyata di pihak lain merasa kayak buat apa sih Jean begini? Kayak move on aja lah? Dan apa yang Jean lakukan itu terlihat egois — buat kepentingan Jean sendiri tanpa mikir perasaan pihak tersebut (saat Jean bebenah). Jean kan cuma mau perasaan dia lega, engga salah menurut gue. Jean bermaksud baik untuk menutup, memperbaiki, yang sudah lalu-lalu tapi kok beberapa responnya kurang baik ya..

Dari situ gue kepikiran terus.. Selama ini gue egois gak ya? Merhatiin perasaan orang gak ya pas gue mau “closure” atau menyelesaikan masalah yang membuat hati gue engga tenang? Dari film ini gue lihat metode Marie Kondo atau minimalism lifestyle tidak semudah itu, ternyata spektrum manusia lebih luas, lebih kompleks dari hanya sekedar “buang-buang barang”.

Sempat pernah kirim semacam long letter via email untuk seorang teman yang saat kuliah diemin gue tanpa alasan dan kasih penjelasan. Di dalam email itu gue cerita, kondisi gue seperti apa, dan gue kecewa banget memang saat sedang jatuh sekali, tiba-tiba dijauhi oleh teman-teman. Gue juga pernah kirim confession itu seorang long-term crush saat gue sekolah, taunya di hari gue confess, lusanya dia nikah. Wow?! Lalu, saat gue ada masalah dengan orang lain, gue masih ngerasa kayak ada yang ngeganjel. Berkali coba untuk ajak ngobrol (instead of Whatsapp chat), tapi dari pihak sana seperti tidak welcome, gue merasa engga enak dan terlalu push orang lain.

Ya.. sedih sih.. gue kan juga pengen ngutarain perasaan gue biar selesai masalahnya dimana… mungkin komunikasi gue yang buruk atau apa. tapi ditanggapi seperti itu jadi mau gak mau gue harus berkata “yaudah deh..” dengan ikhlas.

Jean berusaha untuk mencoba menyelesaikan masalahnya dengan sang mantan, ternyata yang ada memperkeruh status quo yang ada. Dan dari pengalaman gue, setelah gue melakukan “closure”, gue juga mendapat respon yang berbeda; ada yang baikan — as if nothing happens, kita restart dari awal as a acquitance aja, ada juga yang gue beneran ngerasa lega dan pihak sana menanggapi dengan positif, dan ada juga yang menurut gue berakhir dengan ucapan “baiklah” atau “yaudah deh..”.

Gue langsung dong, relate back to Happy Old Days. Mungkin untuk beberapa orang, hati belum tenang kalau belum dibereskan. Belum bisa bergerak maju ke depan jika belum diselesaikan dengan baik. Namun, setelah gue telaah lebih dalam tentang film ini apapun itu hubungan: pacar, teman, coworker sekalipun harus mutual? It’s a two way relationship, kata seorang teman. Mungkin kita ingin segera “move on” dengan cara melakukan closure, tapi ternyata pihak lain sudah merasa baik-baik saja tanpa ada keharusan closure. Kalo kitanya terlalu push, kayaknya kita jadi malah egois ga sih? Terus gue bingung, mengutamakan perasaan gue dulukah? Atau perasaan orang lain? Yang mana sih yang lebih penting? Perasaan gue juga penting tapi kalo “maksain” orang lain, bukankah nanti kita sama-sama terluka? Haduh pusing Kak.

Ya, mungkin ternyata engga semua orang suka metode seperti ini, ada juga yang justru lega bisa mendengar pihak lain untuk speak up. Tapi gue jadi belajar banyak bahwa, human is more complex than I thought ya. Gue mungkin dulu hidup di dalam bubble gue dimana karakteristik orang-orang bisa gue prediksi — maklum kak 3 tahun boarding school, susah senang bareng, jadi udah tau luar dalam — dan lebih mudah untuk speak up karena engga enak banget lagi tinggal bareng 1 atap terus musuhan. Begitu keluar asrama, gue banyak melihat berbagai jenis orang yang ada. Engga mudah ternyata menghadapi pergulatan hidup setelah lulus sekolah.

Film membuat gue lebih sering bertanya ke orang “Are you ok with this?”, “is it ok to call you/ visit you/ hang out this weekend?”, “do you mind….?”, seperti lebih minta consent orang lain dibandingkan dengan statement “…yuk!” gitu. Banyak orang yang appreciate karena mungkin gue terdengar engga maksa, tapi gara-gara ini, gue ngerasa ada timing gue harus beneran speak up, malah gak jadi karena pihak sana trying to avoid the situation. Hft. Bingung. Akhirnya gue pendem sendiri, dan terlarut-larut dalam kesedihan. I care too much about people, sometimes I didn’t know I got hurt. Haaaaaaaah pusing ah.

Sekian dan terima kasih 🙂 Kudos to Nawapol. #HappyOldYear

--

--