First Three Months of The Year

bertamasya
3 min readApr 11, 2021

Setelah 2 bulan engga nulis lagi, akhirnya gue kembali bercerita di Medium.

Mungkin post ini akan lebih panjang dari bulan-bulan sebelumnya karena gue mau ngerekap dari Januari sampe Maret.

Masuk bulan Januari, rasanya biasa aja, gue cuma berpikir kayak oh it’s another month of pandemic that hasn’t stopped. Engga terlalu banyak hal-hal signifikan yang terjadi di bulan ini sampe gue harus bikin 1 post dedikasi buat Januari. Semua berjalan lurus-lurus aja, dibandingin bulan-bulan sebelumnya.

Masuk bulan Februari juga biasa aja, mungkin yang paling signifikan adalah tingkat gue keluar rumah pas weekend makin sering. Mungkin karena gue bosen di rumah, sebagai anak tunggal, gue ga ada temen yg bisa diajak main. Capek juga nonton Netflix, Viu, Disney+, ah you name it. Jadi gue banyak ganti suasana di bulan ini.

Masuk bulan Maret, meskipun saat post ini pertama kali ditulis tanggal 20 Maret, banyak hal-hal yang terjadi dan menguras energi. Bulan ini kesabaran gue kembali diuji sama Tuhan, dan belajar banyak mengatur emosi yang naik-turun.

I am THAT someone that tries to maintain hygiene dan aktif banget mengedukasi orang mengenai covid-19, *yaiyalah cong lagi pandemi!*. Lalu akhir-akhir ini, gue merasa kecewa karena ada orang yang menganggap gue itu parno atau berlebihan ngadepin situasi saat ini, dan di depan muka, gue diberi dengan label tertentu. Perasaan kesal ini gue tumpuk selama beberapa bulan, berusaha mencoba untuk don’t give a damn of what other people said. Tapi namanya juga manusia ya bund, disabar-sabarin juga ada waktunya kesel, jadi kayak bomb waktu tinggal tunggu kapan meledak.

Recently, bom waktu itu akhirnya meledak. I was extremely upset karena ga sekali dua kali emang orang ini mock di depan muka gue. Malam itu gue rebahan dengan rasa kesal di rumah. Seharian gak mood, tidur dengan rasa sedih.

Sepertinya hal yang gue lakukan adalah wajar di saat pandemi, terutama gue, seorang perempuan yang banyak penyakit bawaan, dan hampir tidak dapat jatah WFH. Selama hampir 1 tahun kerja, tiap hari gue harus menghadapi rasa anxious terhadap pandemi. Yang ada dipikiran gue tiap hari adalah, how do I make sure to survive this pandemic and protect my parents at all cost while working from the office? Ya dengan cara being super careful and socially distancing (keeping my inner circle really really small).

Dengan segala circumstances gue yang saat ini harus gue hadapi, dengan secara tidak langsung direndahkan atau dianggap enteng karena gue cuma mau survive selama pandemi, jujur ini membuat gue sedih.

Tapi gue lihat tweet itu, gue langsung ngerasa, oh iya, worth it banget. Bulan Desember lalu gue heavily exposed to a confirmed positive patient, tapi gue pake masker dengan benar, dan puji Tuhan gue serta keluarga gue diberikan keselamatan oleh Tuhan. Gue tidak menularkan ke orang rumah karena that virus berhenti di gue dengan patuh terhadap 5M.

Mungkin orang lain lihat lebay ah, begini begitu, tapi orang lain engga lihat struggle kita sebenernya gimana. Mengecewakan sih tapi balik lagik lagi, why do I expect too much from people ya Kak. Percuma. Gue belajar bahwa, standar orang berbeda-beda, sehingga harap maklum. Ini juga pelajaran berharga buat gue, some people cannot just match our standard juga. Namun, menurut gue, in this wajar aja kalo gue sangat menjaga kebersihan. Perjuangan gue selama ini enggak sia-sia, Alhamdullilah. :)

“Kok lo engga tegur langsung aja, Sya?” well, menurut gue, percuma Kak. Sifat dan karakter manusia yang susah diubah, meskipun kelihatannya bisa asertif ke orang tersebut, tapi kan namanya juga manusia. Melihat beberapa bulan terakhir, dan mengobservasi how this person thinks, acts & talks, gue lebih baik mundur dan diam. Some people are not just worth the fight..

--

--